KOMNASDESA-SULTRA Jl. Nusa Indah 1/37 Kelurahan Watu watu, Kendari Telp/fax: 0401-3121397 WAWONII ON CRISIS

Sunday 8 December 2013

Wawonii Kepulauan

Kabupaten Konawe merupakan salah satu Daerah Tingkat II di provinsi Sulawesi tenggara dengan luas wilayah daratannya ± 666.652 Ha atau 17,48 persen dari luas wilayah daratan Sulawesi tenggara . Dengan jumlah penduduk ±241.428 jiwa, terdiri dari ±123.182 laki-laki dan ±118.246 perempuan (berdasarkan sensus penduduk 2010). Sejalan dengan adanya issu pemekaran wilayah (Otonomi Daerah) maka beberapa wilayah kecamatan dalam Kabupaten Konawe telah memisahkan diri membentuk kabupaten tersendiri (Konawe Selatan dan Konawe Utara), Sehingga saat ini Kabupaten Konawe terdiri dari 30 Wilayah Kecamatan, 410 desa/kelurahan, Kabupaten Konawe dikenal sebagai lumbung beras provinsi Sulawesi Tenggara. Dari 30 wilayah kecamatan tersebut, 6 (enam) kecamatan berada di pulau Wawonii.
Luas Wilayah Pulau wawonii ± 86,760 Ha, terletak pada 04o 01’ 25’’ Lintang Selatan & 123o 01’ 48’’ Bujur Timur. Dengan jumlah penduduk ± 29,054 jiwa (14,477 laki-laki, 14577 perempuan), yang terbagi dalam 7 kecamatan dan 64 desa/keluarahan (Data Tahun 2010). Jika dilihat dari peta, merupakan satu-satunya wilayah di Kabupoten Konawe yang terpisah dengan ibukota induk, karena letak pulaunya yang berada diwilayah pesisir sebelah timur wilayah daratan, yang secara geografis letaknya berdekatan dengan wilayah administratif kota kendari,`Jarak yang dapat ditempuh dari pelabuhan ferry kendari ± 4-5 jam via transportasi laut. Pulau wawonii juga merupakan pulau penyangga bagi pulau pulau-pulau disekitarnya termasuk wilayah daratan kota kendari. Sebagai wilayah yang menyimpan potensi SDA yang melimpah, saat ini pulau wawonii menghadapi ancaman lain yakni masuknya investasi disektor pertambangan yang sejalan dengan program pemerintah daerah yang akan menjadikan Sulawesi tenggara sebagai ikon provinsi pertambangan di indonesia. Untuk itulah penguatan kapasitas masyarakat terhadap ancaman investasi pertambangan sangat diperlukan untuk mempertahankan wilayahnya dari dampak yang ditimbulkan akibat pertambangan yang tidak pro terhadap masyarakat dan lingkungan. LSM KOMNASDESA-SULTRA yang sejak awal berdirinya tahun 2004 telah mendampingi masyarakat yang berada di pulau Wawonii melihat bahwa ancaman terbesar wilayah-wlayah di kawasan pesisir termasuk pulau wawonii adalah bencana ekologis akibat rusaknya hutan akibat investasi di sector tambang.
Pulau Wawonii memiliki kekayaan alam melimpah khususnya mineral (nikel, emas, khromit, pasir besi), hutan dan tanah pertanian yang subur. Oleh Pemerintah Pusat dan Daerah, hampir keseluruhan wilayah daratan di pulau ini khususnya di Kecamatan wawonii utara, Selatan dan tengah telah diserahkan hak kelolanya kepada beberapa investor. Lima perusahaan pertambangan telah mendapat izin eksploarasi dalam bentuk ijin usaha Pertambangan dengan total luasan konsesi jika diakumulasikan sebesar 114.087 ha, sedangkan luas pulau wawonii hanyalah sebesar 86.760 Ha. Menjadi sebuah tanda Tanya besar ternyata izin yang dikeluarkan melalui SK Bupati Konawe kepada lima perusahaan tambang melebihi luas keseluruhan pulau. Kebijakan Pemerintah menjadikan Kabupaten Konawe menjadikan pulau wawonii menjadi wilayah industri pertambangan akan menimbulkan banyak persoalan lingkungan hidup, sosial, ekonomi, budaya dalam masyarakat lokal. Lahan pertanian warga harus ditinggalkan atau tidak dapat lagi diolah oleh warga sendiri karena telah menjadi wilayah konsesi pertambangan. Bahkan, tanah-tanah adat masyarakat harus beralih status alias dirampas secara paksa dengan dalih investasi atau dibujuk dengan iming-iming menjadi karyawan dan akan lebih sejahtera.
Konversi lahan secara besar-besaran telah mengakibatkan terjadinya degradasi lingkungan hidup secara signifikan. Disisi lain, posisi masyarakat memang sangat lemah. Masyarakat dihadapkan dengan terbatasnya pengetahuan dan pemahaman mereka terhadap sejumlah peraturan perundangan yang dapat dipergunakan untuk memperjuangkan atau mempertahankan hak-hak mereka. Masalah lainnya adalah terbatasnya akses informasi menyebabkan masyarakat seringkali terbentur tidak mengetahui harus kemana dan dimana untuk mendapatkan informasi bila mereka menghadapi berbagai persoalan. Hal ini disebabkan oleh karena tidak tersedianya individu-individu yang memiliki pengetahuan hukum dan HAM yang berhubungan dengan pertambangan dan kehutanan. Disamping masalah yang terkait dengan pengetahuan dan pemahaman, masyarakat sangat kesulitan melakukan upaya-upaya penuntutan atau perlindungan hak-haknya karena belum dapat berjuang secara kolektif karena belum terbangunnya wadah organisasi yang dapat mempersatukan dan mensolidkan mereka. Apalagi, sarana untuk menyampaikan pengaduan, keluhan-keluhan yang mereka alami, rasakan atau saksikan belum disediakan oleh pemerintah melalui dinas-dinas terkait.
Dengan demikian dibutuhkan adanya intervensi oleh berbagai pihak untuk memberikan penguatan pengetahuan, penguatan kapasitas dan pembentukan organisasi rakyat di daerah tersebut agar masyarakat yang sangat rentan resiko dampak tidak hanya sekedar menjadi penerima dampak yang pasrah tapi sebaliknya akan membangun gerakan perlawanan yang terorganisir untuk dapat menuntut dan melindungi hak-haknya sesuai dengan ketentuan peraturan perundangan yang berlaku.